Pameran Mice Telekomunikasi Mengubah Peradaban: Saat Komik Bicara Soal Keterasingan Digital

Pameran Mice Di tengah arus informasi yang melaju cepat dan teknologi yang kian meresap dalam setiap sudut kehidupan, muncul sebuah ruang kontemplasi visual melalui pameran bertajuk “Telekomunikasi Mengubah Peradaban” karya kartunis legendaris Indonesia, Mice (Muhammad “Mice” Misrad). Melalui medium komik yang khas dan jenaka, Mice membawa pengunjung menelusuri transformasi besar dunia komunikasi, sembari menyoroti sisi kelam yang sering luput dari sorotan: keterasingan digital.

Pameran ini tidak hanya menjadi ruang nostalgia atas masa-masa ketika surat dan telepon umum masih menjadi andalan, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat modern untuk menilai ulang relasi mereka dengan teknologi komunikasi. Di era serba daring ini, komik-komik Mice tampil sebagai kritik sosial yang tajam namun dibalut humor, membuka ruang diskusi tentang bagaimana internet, media sosial, dan perangkat pintar telah mengubah wajah peradaban—dan kemanusiaan.

Dari Surat Kertas ke Percakapan Digital

Salah satu bagian paling mencolok dalam pameran ini adalah evolusi media komunikasi yang digambarkan secara kronologis. Mice dengan jeli merepresentasikan pergeseran dari komunikasi analog ke digital, mulai dari surat kertas, pager, telepon rumah, hingga ke WhatsApp dan TikTok.

Di salah satu panel komik, tampak dua tokoh remaja yang berdebat tentang kecepatan koneksi internet, sementara seorang kakek di sudut bingung, merindukan masa di mana menunggu balasan surat selama seminggu adalah hal yang biasa. Komedi dalam panel itu mengandung kritik mendalam: kecepatan bukan selalu berbanding lurus dengan kualitas komunikasi.

Pameran ini memperlihatkan bahwa transformasi teknologi tidak serta-merta mempererat hubungan antarmanusia. Justru sebaliknya, keterhubungan digital kerap kali melahirkan keterasingan sosial.

Keterasingan dalam Dunia yang Terlalu Terhubung

Topik keterasingan digital menjadi inti narasi yang dibangun Mice dalam banyak karyanya. Ia menunjukkan bagaimana media sosial, alih-alih mendekatkan yang jauh, seringkali justru menjauhkan yang dekat. Dalam salah satu karya satirnya, Mice menggambarkan sekelompok teman nongkrong di kafe, tapi masing-masing asyik menatap layar gawai tanpa saling berbicara. Judul di atas panel tersebut menyentil: “Bersama tapi Sendiri.”

Karya ini menjadi pengingat tentang fenomena yang kini lazim: keintiman semu yang dibangun lewat layar, tetapi rapuh dalam kenyataan. Era digital menghadirkan paradoks komunikasi—di mana orang lebih mudah terhubung, namun lebih sulit merasa didengarkan.

Lebih jauh, Mice menyentuh isu-isu serius seperti doomscrolling, ketergantungan pada validasi digital (likes dan followers), dan ilusi produktivitas dalam budaya hustle yang ditopang oleh teknologi komunikasi. Ia menyoroti betapa masyarakat modern terjebak dalam “kebisingan digital” yang ironisnya membuat mereka makin sulit berkomunikasi secara autentik.

Pameran Mice

Komik sebagai Medium Kritik Sosial

Komik Mice memiliki kekuatan unik: ia mampu menyampaikan kritik sosial yang tajam tanpa terkesan menggurui. Gaya visual yang sederhana, bahasa yang membumi, dan humor khas Jakarta menjadikan karya-karya ini mudah diakses lintas usia dan kelas sosial.

Di tangan Mice, komik menjadi alat dokumentasi sekaligus refleksi budaya. Ia menangkap zeitgeist zaman—dari euforia media sosial, obsesi terhadap influencer, hingga kegelisahan akibat ketergantungan pada teknologi.

Dengan cerdas, Mice memotret bagaimana telekomunikasi tidak hanya mengubah cara manusia berkomunikasi, tapi juga mengubah cara berpikir, merasa, dan berelasi. Komik menjadi semacam “jurnal sejarah sosial” yang menyuarakan perubahan besar dalam peradaban, lengkap dengan kritik, ironi, dan empati.

Mengajak untuk Berpikir Kritis, Bukan Anti-Teknologi

Meskipun mengangkat sisi-sisi problematis dari era digital, pameran ini bukanlah ajakan untuk menolak teknologi. Sebaliknya, Mice mengajak pengunjung untuk berpikir kritis terhadap bagaimana teknologi digunakan. Ia mempertanyakan: apakah kita mengendalikan teknologi, atau justru dikendalikan olehnya?

Lewat karya-karyanya, Mice mendorong kesadaran kolektif tentang pentingnya keseimbangan—antara konektivitas digital dan kedekatan manusiawi, antara informasi cepat dan kedalaman makna. Teknologi semestinya menjadi alat yang memanusiakan, bukan justru mengasingkan.

Pameran yang Menginspirasi Dialog

“Telekomunikasi Mengubah Peradaban” bukan hanya pameran seni. Ia adalah ruang dialog, tempat generasi yang pernah mengenal kartu pos bisa berbincang dengan generasi yang tumbuh bersama TikTok. Pameran ini menjadi titik temu antara nostalgia dan masa depan, antara refleksi dan harapan.

Melalui komik, Mice mengajak kita untuk tidak sekadar menjadi konsumen teknologi, tetapi juga menjadi subjek yang sadar dan kritis. Ia menunjukkan bahwa di balik setiap emoji, notifikasi, dan algoritma, ada manusia yang merindukan sentuhan nyata, tawa tulus, dan percakapan tanpa filter.

Penutup

Ketika komunikasi berubah drastis, pertanyaan yang perlu kita ajukan bukan hanya bagaimana kita berkomunikasi, tetapi juga apa yang kita korbankan dalam proses itu? Pameran Mice menjadi pengingat bahwa dalam dunia yang semakin terhubung, kita justru perlu lebih berjuang untuk benar-benar bertemu—bukan hanya lewat layar, tetapi lewat kehadiran yang utuh sebagai manusia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top